Diriku 2

Pencarian

(MGMS/81715570/2017)

Di parkiran atas sebuah mall, berkumpulah beberapa gadis. Diantaranya adalah Adel, Diah, Dila, Fadillah, Mahri, Rena, dan Saga. Mereka adalah pelajar SMA yang sebenarnya hanya sekedar lewat untuk melihat ramainya jalan sekalian berfoto. Namun, takdir berkata lain. Mereka justru melihat seseorang yang mereka kenal—yang sepertinya—baru saja lompat—terjun dari tempat itu. Suasana hening, tidak ada yang berkata sepatah kata pun, sampai…

“Dih, minta maaf lebay banget. Sampai bunuh diri segala,” Rena memecah lenggang. Fix, dia sudah gila.

“Bener, norak banget. Dikira ini jaman apa,” Dila yang dari tadi hanya diam akhirnya bicara. Pakai video lagi.” 

“Mungkin karena dia kutuber” Saga tertawa kecil

“Ya... walau kutuber, kan, gak usah gitu juga keles. Bikin aneh-aneh. Gak to the poin.” Rena nimpali.

“Sudah ya, rek. Daripada ribut,” Fad berkata lagi. Dia mengambil kamera itu dari tembok pembatas, dan mulai mengayunkannya—hendak melempar. Namun lengannya dipengang oleh Mahri.

“Fad” Mahri menatap muka Fadillah.

Fadillah menoleh ke arah Mahri. Dahinya terlipat. Alisnya turun. Dia merasa marah, kesal, bingung, dan sedikit sedih bercampur aduk. Iapun menarik tangannya dari Mahri dan melemparkan kamera itu ke tanah. Saking kuatnya Lensa kamera itu retak, begitu juga dengan layarnya. 

Mahri yang sedikit kaget langsung memegang pundak Fad dengan kedua tangannya. Dia menatap Fad sekali lagi. “Fad!!” suaranya mantap “Kendalikan dirimu, tenanglah!”

“Mahri..” balas Fadillah pelan. Beberapa saat kemudian Mahri merangkul Fadillah agar dia bisa tenang.

“Tuh kan, liat. Gara-gara orang gila satu ini, kita jadi marah-marah gak jelas.” Rena menyalahkan

“Ya ya” lagi-lagi Dila hanya mengiyakan. Dia tidak mau ikut membahas masalah ini.

“Jadi, begini. Mending kita buang tu kamera, terus lupain kejadian ini. Oke?” lanjut Rena dengan tegas.

“Hmmm... lupain?” Diah kebingungan

“Iya lupain. Lupakan. Forget. Masa ga bisa?” balas Rena santai

Seketika semua melihat ke arah Rena—kecuali Mahri, dia masih menenangkan Fadillah, mereka agak jauh beberapa meter. 

Kayaknya belum bisa” balas Diah kesal.

“Ah, masa ga bisa” jawab Rena.

“Ya gak bisalah Ren. Walaupun katamu dia memang gila, dan aku juga setuju, tapi mau dikata apa kita pasti akan teringat sama kejadian ini” kata Saga dengan intonasi yang lebih terkendali daripada yang lain.

“Iya. Nanti kalau Ashrahi menghantui kita gimana,” Adel akhirnya ikut menanggapi. Tangannya ke atas, “whoooo”. 

“Idih, ya gak mungkin lah, del” jawab Rena sambil memasukan kedua telapak tangannya ke siku.

“Yo mungkin aja. Bisa aja itu Jin. Hayo, loh” 

“Oh iya, dia kan banyak dosanya” kata Rena mengejek

“Wah duro gak ngaca i” Dila sedikit tertawa.

Mendengar hal itu Rena makin kesal. Dia hendak menghampiri Dila untuk mulai mengoceh lagi. Namun belum selangkah kaki Rena bergerak, Mahri yang dari tadi agak menjauh, akhirnya menghampiri mereka.

“Rek” kata Mahri melihat ke arah yang lain, “Kita gak mungkin ngebiarin ini gitu aja. Ya ini terserah kalian sih. Tapi menurutku, gimana kalau besok kita kumpul lagi, buat bahas ini. Ya biar nggak ada yang mengganjal gitu di pikiran.

Semuanya saling bertatap, kemudian menggangguk (tidak terkecuali Rena) 

“Ini kameranya, siapa yang bawa?” Tanya Diah

“Aku…” Fadillah berkata pelan. Setelah dari tadi menunduk dan hanya mendengarkan, akhirnya dia bicara. Ekspresinya masih seperti tadi, tapi sudah lebih baik. 

“Gpp nih?” tanya Diah melihat Fadillah—sedikit khawatir 

“Iya iya gpp. Toh yang buat lensanya rusak aku, kan” jawab Fadillah 

Setelah itu mereka turun dari atap gedung melewati tangga yang ada di sana. Sesekali mereka bercakap-cakap, hingga sampai di depan pintu masuk. Satu demi satu dari mereka pergi, ada yang naik angkutan umum, ojek online, atau dijemput orang tuanya. Hingga tersisa dua orang saja, Fadillah dan Mahri. Mereka pergi ke bangku panjang yang ada di trotoar. 

Mereka duduk berhadapan. Tidak terlalu banyak orang yang lalu lalang di dekat mereka, Sebab hari sudah mulai gelap. Sekarang mereka memegang gawainya masing-masing. 

Udara pun mulai dingin, angin bertiup beberapa kali. Merasakan dinginnya suhu, Mahri bertanya kepada Fadillah, “Kamu dijemput jam berapa?”

“Bentar lagi mungkin”, jawab Fad tanpa melihat Mahri

“Fad” panggil Mahri pelan

“Ya?” sekarang dia (Fadillah) melihat ke Mahri

“Tahun depan kita sama anak-anak kumpul lagi, kan?” tanya Mahri sedkit khawatir

“Doain aja” Fadillah menghela nafas. 

“Ya…” Mahri terdiam sejenak. “Lusa kamu pulang, ya?” tanya Mahri sedikit sedih

“Iyai” Fadillah tersenyum tipis, kepalanya menunduk.

“Eh, maaf” kata Mahri melihat reaksi Fadillah.

“Nggak, nggak papa” Fadillah tersenyum, “Aku pasti ke Malang lagi kok”

“Oh, ya. Gimana kalau nanti dirumah videonya kamu pindah ke flashdisk. Biar enak bawanya.”

“Oke.”

Tidak lama kemudian sebuah sepeda motor matic berhenti di dekat mereka. Itu adalah Ibu Fadillah, beliau memakai kerudung dan masker. Setelah saling sapa dan menyalami, Fadillah pulang.

D2

Keesokan harinya mereka berkumpul di alun-alun kota. Semuanya hadir kecuali Dila dan Reta, mereka berhalangan. Mereka mulai berunding satu sama lain.

“Jadi, kita mau ke mana dulu?” Mahri memulai percakapan.

“Kataku, sih, kita ke kantor polisi aja dulu. Tempatnya ga jauh, kan dari sini,” Saga menyarankan

“Habis itu?” Sherry bertanya melihat saga.

“Ke rumahnya Ashrahi, mungkin” jawab Saga kurang yakin.

Gini aja, beberapa ke kantor polisi. Yang lain ke rumahnya Ashrahi,” jawab Rena santai.

“Aku yang pesen GREB ya, rek” kata Diah.

“Ngapain?” Adel bertanya, “Kan kantor polisi ga terlalu jauh” Sherry sedikit menyerongkan kepalanya.

“Ya memang ga jauh, tapi lumayan kalau jalan kaki” jawab Diah datar

Seketika Fadillah merogoh gawainya disaku, dan mulai membuka sebuah aplikasi. Diah melihatnya, dia pun bertanya “Kamu yang pesen, Fad? Tumben”

“Oh nggak kamu aja yang pesen, aku Cuma inget sesuatu” jawab Fadillah mendongak

Selang beberapa detik kemudian salah satu gawai berdering sesaat. Itu suara ponsel Diah, aplikasi itu telah menemukan driver. Diah pun melihat ke arah yang lain

“He, rek. Ini udah dapat driver-nya”

“Apa mobilnya?” Sherry bertanya pelan

“Ng.. Ini mobilnya, Agya” Diah menjawab pelan

Mahri hanya ber-oh saja. Dia masih berusaha mencari rumah Ashrahi, dengan menanyakannya ke beberapa kontak yang dia punya. Sementara yang lain hanya melihat-lihat sekitar.

“Ini pelu kubatalin?” tanya Diah, canggung

“Ngapain?” Saga bertanya, “Kan Cuma sebagian yang ke kantor polisi”

“Eee...” Diah baru sadar. Untuk menutupi rasa malu, Diah bertanya ke Mahri, “Ri, sudah ketemu alamatnya?”

Mahri menoleh ke Diah dan yang lain. Dia menghela nafas sejenak dan berkata “Gak ada yang tahu, rumahnya. Beberapa malah tanya siapa itu.”

“hmm.”

Tidak lama setelah itu ponsel Diah berdering. Ada telepon masuk, itu adalah Driver yang tadi dia pesan. Diah pun memberithu yang lain.

“Fad” pangil Mahri

Fadillah pun menoleh dan memasukkan gawainya ke dalam saku.

“Sudah kamu pindah ke flashdisk?” tanya Mahri

“Oh udah” Fadillah merogoh saku satunya “Ini, R.,” Dia memberikan Flashdisk itu

“Makasih” ucap Mahri. Dia pun menoleh pada yang lain “Siapa yang ikut selain Diah?” Mahri mengajak

“Aku, Mahri,...” Rena menajawab

“Ada lagi?” Mahri kembali bertanya

“Aku” jawab Adel.

Mereka pun saling sapa sebentar dan beberapa detik kemudian Mahri, Diah, Rena, dan Adel sudah menuju kantor polisi dengan mobil yang dipesan tadi.

Fadillah mengambil gawainya lagi dan mulai berunding kepada yang tersisa. Mereka, yaitu Vion, Sherry, dan Saga. Vion dari tadi hanya berbicara dengan Fadillah. 

“Rek, aku nemu alamatnya” Fadillah memberitau

“Kenapa kamu ga bilang ke yang lain?” Vion bertanya

“Ya, tadi aku mau beritau, tapi drivernya udah datang”

“Kamu dapat dari mana Fad?” tanya Saga

“Dari dianya sendiri, dulu” jawab Fadillah 

Vion, Sherry, dan Saga melihat ke arah Fadillah dengan tatapan bingung. Mereka sedikit tidak mengerti, kenapa Ashrahi memberi alamatnya. Belum ada yang bertanya, Fadillah sudah menjawab, dia tau apa yang dipikirkan teman-temannya.

“Dulu dia balas snap-ku, terus nyoba Vanka (semacam aplikasi untuk belanja online) dari Rumahnya, buat nunjukin tariff,” Jelas Fadillah sambil menunjukkan snap dan balasannya.

Semua mangut-mangut, paham. Kemudian Saga menghampiri Fadillah untuk menanyakan alamat Ashrahi. Setelah itu, Saga menelpon seseorang. Dia bertanya satu dua hal kepadanya dan minta tolong untuk dijemput di Alun-alun.

D2

Sekitar setengah jam kemudian terlihat mobil menuju sebuah masjid dekat Alun-alun tersebut. Mereka pun langsung menuju ke sana dan masuk ke dalam mobil.

Saga duduk di depan dan mulai menjelaskan tujuannya. Sementara itu Fadillah, Vion dan Sherry berbincang-bicang sedikit di jok belakang sambil sesekali melihat keluar selama perjalanan. Mereka mengingat masa-masa saat masih di bangku SMP.

D2

Dua jam berlalu. Sekarang mereka hampir sampai di tujuan. Fadillah pun mengecek kembali ponselnya untuk memastikan di mana alamat Ashrahi. Mobil yang mereka tumpangi sekarang berhenti di depan gapura bertuliskan ‘Taman Jalan Baru’agar orang yang ada di rumah Ashrahi tidak terganggu dengan suara mobil. Mereka pun berunding sebentar dan akhirnya turun dari mobil. 

Mereka berjalan melewati beberapa rumah di sana. Rumah-Rumah itu biasa aja, tidak terlalu buruk atau mewah. Dilihat dari model bangunannya, rumah-rumah di sini kebanyakan dikontrakkan menjadi kost. Sherry, melihat blok setiap rumah dan beberapa kali bertanya ke Fadillah.

“Rek, kayaknya ini deh rumahnya” Kata Sherry sambil menunjuk salah satu rumah

Rumah itu tidak terlalu besar—seperti rumah lainnya. Atap rumah itu tidak lurus satu sama lain alias miring. Warnanya pun gelap, karena banyak lumut di sana. Pagar rumah itu terbuat dari kayu—beberapa sudah keropos dan dirambati tanaman. Tingginya sekitar satu setengah meter. Pagar itu tidak langsung menancap ke tanah—menggantung—ada tembok dibawahnya. Di samping pagar itu ada pagar besi dengan roda.

“Bener ini rumahnya?” tanya Vion pelan.

“Kalau dilihat dari alamatnya sih ini” jawab Sherry 

Mereka pun menekan sebuah tombol “bel” di samping pagar. Tak lama pintu rumah itu terbuka. Terlihat gadis kisaran umur 20 tahun keluar dari sana. Dia memakai piyama, dengan rambut tergerai. Sepertinya belum mandi. Dia pun membuka pagar dan bertanya dengan nada yang ramah “Cari siapa?”

“Ashrahi ada, Kak?” Fadillah bertanya 

Gadis itu terdiam—bingung. “Siapa, ya. Kok, aku belum pernah dengar?”

Fadillah menceritakan ciri-ciri dari Ashrahi, dari wajah hingga kaki. Sekolahnya dulu sebelum SMA.  

Namun, Gadis itu justru tersenyum dan melihat masing-masing dari mereka. “Sepertinya kalian salah rumah. Aku di sini Cuma berempat bersama kakakku Rima” jelasnya 

“Ya sudah Kak, maaf udah ganggu” Fadillah tersenyum 

“Eh iya, ga papa” jawab gadis itu tersenyum. Dia pun menutup pagar secara perlahan dan kembali masuk ke rumah.

Mereka pun pergi menjauh dari rumah itu dan berunding lagi. Mereka sedikit kaget mendengar pernyataan gadis tadi. Setelah beberapa menit bertanya satu sama lain, akhirnya mereka kembali ke Alun-alun. Fadiilah mengambil ponselnya untuk mengabari Mahri. Sedangkan Saga memesan GREB.

D2

Singkat cerita, kedua kubu itu sudah berkumpul kembali di Alun-alun kota. Mereka saling menceritakan kejadian yang dialami. Mahri dkk. mendapati sesuatu yang janggal di kantor polisi. Ketika mereka menunjukan video itu, pihak kepolisian hanya tertawa. Katanya, mereka tidak melihat apa-apahanya hitam. Padahal saat Mahri dan yang lain melihatnya, video itu masih seperti kemarin.

Dari kejauhan seorang pria berdiri melihat mereka. Dari perawakannya, dia berumur 25 tahun. Dia memakai hoodie gelap, celana jeans serta sneakers berwarna abu-abu. Model rambutnya tidak terlalu terlihat, tapi nampaknya panjang. 

Pria itu membuang rokok ke tanah lalu menginjaknya. Dia pun menghampiri Mahri dan yang lainnya. Meski begitu, mereka tidak menyadarinya dan masih meributkan kejanggalan. 

Pria itu mengambil sesuatu dari saku hoodie-nya, bentuknya seperti vape. Dia menyalakan benda itu dan berkata lantang “Maaf ya, aku tidak bisa memberitahukan yang sebenarnya pada kalian.” Para gadis itu menoleh, tidak berkomentar. Mereka sedikit bingung. Siapa yang sebenarnya diajak bicara.

“Tapi akan kubantu kalian melupakan semua ini,lanjut pria itu

Dia pun melemparkan benda yang dia nyalakan tadi ke arah mereka. Benda itu jatuh tepat di sebelah kaki Diah. Reflek dia mundur satu langkah. Benda itu mendenging sangat kencang dan mengeluarkan cahaya yang membuat mereka buta sesaat.

Para gadis itu telah menghilang dari Alun-alun. Pria itu mendongak ke langit  dan berkata “Yah, seharusnya memang begini, BYZYX”. Saat itu juga, semua yang ada di sana menghilang bagai debu. Seakan semua yang terjadi hari ini adalah mimpi.

Hari pun dimulai lagi dari kemarin. Semua yang terjadi sama seperti sebelumnya. Namun kali ini dengan akhir yang berbeda. Para gadis itu tidak melihat ada yang jatuh dari gedung. Bahkan di dalam ingatan mereka, tidak ada yang bernama Ashrahi. Dia sudah benar-benar lenyap.

Bersambung..


Sebelum membuka episode selanjutnya, izinkan saya memberikan saran:
“Jangan lupakan apa yang telah terjadi”; atau dalam kasus ini, jangan lupakan apa yang terjadi di episode sebelumnya.
-Trimz

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Old Dreams Never Die

Chapter 3

Time of Lunar Eclipse