DIRIKU II

Masih di sore yang sama, tidak jauh dari mall itu terlihat seseorang mengenakan setelan agak rapi. Dia memakai atasan semacam jas hitam yang agak panjang, celana hitam panjang, serta sepatu kantoran. Jika kalian tau baju Sherlock homes, mirip seperti itu. Wajahnya kurang begitu jelas karena tertutupi bayangan benda disekitarnya.

Tepat sebelum Ashrahi melompat dari gedung, pria misterius ini berlari mendekati. Ketika Ashrahi hampir menyentuh tanah, pria ini melemparkan sebuah alat. Bentuknya seperti bunga yang mekar, yang lebih ke arah polygon. Benda itu melayang di udara dan menyentuh tubuh Ashrahi. Seketika benda itu menyinari sekitarnya seperti flashbang, yang berlaku untuk radius tertentu. Namun tidak seperti flashbang umumnya, yang hanya mempengaruhi orang yang melihatnya. Cahaya itu hilang beberapa saat kemudian, bersamaan dengan Ashrahi dan pria misterius itu.

oOo

Setelah kejadian barusan, Ashrahi tak sadarkan diri. Tidak lama kemudian dia terbangun. 

“Uhh..” eluh Ashrahi membuka matanya perlahan. Ia bingung dengan keadaan sekitarnya “Uhm… apa ini Dunia yang byzyx katakan?”

“Tentu saja bukan bodoh,” jawab pria misterius tadi, dengan nada agak meremehkan dan senyum tipis. 

Dia berdiri tidak jauh dari Ashrahi, sekitar 6 meter. Karena tempat Ashrahi terbangun cukup terang, wajah pria ini terlihat lebih jelas. Rambutnya cukup panjang, sepanjang leher hampir menyentuh bahu, dan disisir klimis. Jenggotnya tidak terlalu lebat namun terlihat jelas, serta kumisnya menyatu dengan jenggotnya. 

-'Uh? Ada orang lain' kata Ashrahi dalam hati. Karena penasaran, ia pun berdiri dan mendekati pria itu. “Maaf, Anda siapa ya?”

Pria itu terkekeh sambil mengangkat tangannya sedikit, seakan berkata ‘coba tebak’

“Oke, apakah aku bermimpi? Ini halusinasi? Orang ini tidak nyata? Atau aku sudah—” gunam Ashrahi kebingungan.

Pria itu pun tertawa terbahak-bahak. “Apakah mukaku berubah sejauh itu dari saat aku SMA? Atau aku dulu aku jarang melihat cermin? Ah kurasa tidak, seingatku dulu aku agak narsis dan selalu melihat cermin.”

“Sepertinya bukan hal yang mustahil kalau aku..” Ashrahi yang dari tadi bicara sendiri menerka-nerka apa yang terjadi, seketika terhenti dan berkata, “..tunggu, kau bilang dirimu saat SMA? Berarti kau—”

“Iya, nak. Oh, agak aneh kalau kupanggil ‘nak’. Bagaimana kalau ‘Lang’. Haha..” 

Belum sempat Ashrahi menimpali, pria itu melanjutkan, “Sebenarnya aku tidak suka bertele-tele untuk menjelaskan sesuatu yang rumit. Jadi langsung ku katakan saja. Iya, aku adalah dirimu dari masa depan, Lang.”

Ashrahi terdiam mendengar hal itu. 

“Kenapa? Kukira kau akan langsung memahami situasinya, Lang. Bukannya kau selalu berkhayal dan berharap perjalan waktu, dimensi lain, dan semacamnya itu ada? Kenapa masih kaget?”

“aku juga berpikir begitu, La—”

“Fox. Panggil aku itu.”

“Fox?”

“Iya. Fox. Tidak ada alasan khusus. Hanya saja kata ‘Fox’ singkat dan mudah diucapkan, menurutku.”

“Oke.. Fox. Bisa kau jelaskan di mana ini? Kenapa semuanya putih seperti kertas? Dan bagaimana aku di masa depan bisa ke sini? Mesin waktu sudah ditemukan kah? Dan bagaima—” 

“Whou whou, tenang, Lang. Sabar, satu-satu. Oh man, dulu aku seperti ini ya?” jawab Fox menenangkan Ashrahi. Dia mendekati Ashrahi beberapa langkah. Sekarang jarak diantara mereka hanya sekitar 2 meter.

“Biar kujelaskan satu persatu. Ini adalah negative zone, ruang hampa, atau apalah itu. Tidak ada nama pasti untuk tempat ini. Yang jelas waktu berjalan berbeda di sini.”

“Oke.. lalu?”

“Oh sisanya? Kau akan tau, tapi bukan sekarang.”

“Huh?”

Fox tersenyum, sekilas memejamkan matanya dan menghela nafas. Dia merogoh kantong kemejanya, dan terlihat dia mengerluarkan minum soda kaleng dari sana. Dia melemparkannya ke Ashrahi seraya berkata, “Ini, minumlah. Kurasa ini akan membuatmu lebih tenang dan otakmu berkerja lebih baik.”

Ashrahi menerima minuman soda kaleng itu, tapi tidak langsung dia minum. Dia melihat merk-nya. Di situ tertulis minuman soda rasa lemon lime.

Sementara itu, Fox meminum minuman soda kaleng sejenis yang entah datangnya dari mana. Dia meminumnya seteguk dua teguk, lalu melirik ke arah Ashrahi. “Hm? Minumlah, Lang. Kita berdua tau ini salah satu soda terbaik.” 

Ashrahi sedikit menyipitkan matanya dan melihat kaleng itu sekali lagi. Dengan agak kikuk, Ashrahi membuka minuman itu lalu meminumnya.

“Seperti yang kubilang tadi, aku tidak suka bertele-tele. Dan harusnya kau tau itu, Lang”

Fox berjalan sedikit menjauh, lalu melanjutkan, “Aku ke sini untuk menjelaskan sesuatu yang akan mengubah pola pikirmu.”

Ashrahi hanya diam, dia mulai menyimak perkataan Fox dengan seksama.

“Sebelum itu, mari sedikit kujelaskan apa yang terjadi. Seharusnya kau ada di dunia yang BYZYX ceritakan. Tapi aku mencegahnya, saat kau mau lompat dari atas mall itu tadi. Sehingga kau akan menjalani takdir yang berbeda dari yang seharusnya.

Di takdir yang seharusnya, kau, lebih tepatnya aku, berhasil menuju dunia Erscritson. Di sana banyak hal yang terjadi. Dan bukan hanya aku yang di kirim ke sana oleh BYZYX. Hampir semua orang yang memiliki masalah serupa dengan kita, di kirim ke sana. Terjadi ini itu. Perang dengan orang di dunia nyata. Ah, cukup rumit untuk dijelaskan dalam satu malam. Tapi kau paham maksudku, kan?”

“Uh.. iya,“ kata Ashrahi sambil sedikit mengangguk.

“Haha, santai saja Lang. Jangan ragu-ragu begitu. Iya aku lebih tua dari dirimu yang sekarang. Tapi aku bukan gurumu,” Fox sedikit tertawa lalu meminum soda kaleng itu lagi sedikit.

“Kembali ke topik. Singkat cerita, aku dan semua orang lainnya kembali ke dunia nyata. Dengan kondisi yang sedikit berbeda. Egoku terpisah. Sederhananya kita jadi punya 2 kembaran lagi, tapi dengan sifat yang berbeda. Satu sangat ceria dan cenderung percaya diri. Satunya pemurung dan cenderung pemarah. Sisanya aku.

Masalah bagaimana kehidupan kita saat kembali ke dunia nyata tidaklah penting, karena itu bisa jadi cerita sendiri. Yang mau kusampaikan adalah alter ego kita itu bullshit” Fox menghabiskan sodanya sampai tetes terakhir, tapi kalengnya belum dia buang.

“Tunggu, bullshit? Jadi selama ini yang kupikirkan hanyalah khayalan?” tanya Ashrahi merasa heran.

“Bisa dibilang begitu. Tapi halusnya, kau gila” Fox melotot, kaleng soda-nya ia tekan dengan kedua tangan sampai menjadi pipih.

“Hey, yang—” jawab Ashrahi yang tidak terima dengan perkataan Fox.

“Haha, tenanglah kawan. Aku hanya bercanda.” jawab Fox, berusaha mencairkan suasana. Dia terdiam sejenak melihat ke langit-langit—kalau memang ada yang namanya "langit"—bibir kirinya mengarah ke kiri membentuk lesung di sana. “Hm.. setengah bercanda,” Fox mengkoreksi perkataannya.

Ashrahi yang mendengarnya langsung naik pitam dan menghampiri Fox. Saat mau memukul, dengan mudahnya Fox menangkis pukulan tersebut. “Whoa whoa, santai Lang.”

Dengan cepat Fox mendorong Ashrahi. Ashrahi pun tersungkur ke bawah. 

“Ahh.. dulu aku sesensitif ini kah?” kata Fox sambil menutup matanya dengan tangan kanan. 

Tidak lama setelah itu, Fox menghampiri Ashrahi dan mengulurkan tangan, bermaksud membantunya berdiri. Fox tersenyum dan menoleh ke kiri sedikit dengan cepat, dengan maksud menyuruh Ashrahi segera bangun. Ashrahi menerimanya dan berdiri.

Fox berjalan menjauh tanpa melihat muka Ashrahi. Dia melanjutkan, “Baiklah, akan kuperhalus kalimatku. Kita punya sedikit trauma Lang, dan berkemungkinan terkena mental illness.” Fox melihat ke bawah dan sedikit menggigit bibir bawahnya. 

“Mental illness? Oke kau membuatku bingung, Fox. Katamu alter ego kita bullshit”

“Iya, memang bullshit" Fox menoleh ke arah Ashrahi. “Nah, ini yang mau kuluruskan. Sebelum itu, aku ingin bertanya untuk memastikan. Kau dari tahun berapa, Lang?”

“Uhm.. 2019 pertengahan. Tepatnya sebelum tahun ajaran baru dimulai. Tunggu, mesin waktumu itu tidak memberi informasi tahun berapa yang akan dituju?”

“Tentu saja ada. Tapi ada sesuatu yang membuatku tidak yakin.”

“Apa itu?”

“Kau akan tahu, tapi bukan sekarang,” Fox tersenyum tipis. 

“Ahh.. okelah,” Ashrahi agak tidak terima. “Aku mulai terbiasa dengan ini. Biar kutebak. Kau merahasiakannya agar tidak terjadi paradox.”

“Kau akan tahu, tapi bukan sekarang. Haha!” Fox terkekeh. 

Ashrahi agak kesal dan menyipitkan matanya.

“Oke, oke. Jadi apa maksudmu tadi?”

“Oh iya, alter ego. 

Begini, Lang. Mental illness tidak melulu soal kepribadian ganda, alter, halusinasi. Lebih luas daripada itu. Sikap cemas yang berlebihan, atau biasa dibilang overthinking, juga bisa jadi ‘indikator’ mental illness. Dan kalau bicara soal alter, di tahunku, atau bahkan di tahunmu sekarang, banyak kok yang punya alter. Alter yang kumaksudkan di sini agak berbeda dengan mental illness yang kubilang tadi. 

Sekarang coba kutanya, ada berapa.. ah tidak, seberapa sering kau melihat temanmu punya second account, Lang?”

“Uhm... tidak terlalu sih. Mungkin hanya sekitar 10?” Ashrahi tidak terlalu yakin.

“10? Haha.. kau hanya belum tau saja. Di tahunku hampir semua orang yang kukenal, khususnya yang sering aktif di social media, punya yang namanya second account. Mungkin faktor algoritma juga. Dulu algoritma instagram, youtube tidak segila di masaku. Selain itu umur juga pengaruh. Dulu saat SMP tekanan hidup remaja seumuranmu tidak terlalu berat. Mungkin ada yang sudah mengalami masa-masa sulit bahkan saat di sekolah dasar. Tapi kebanyakan hidupnya tenang-tenang saja.” 

Fox merogoh sakunya lagi dan mengambil sebotol air mineral kecil. Dia membuka botol itu dan meminumnya.

“Okelah.. algoritma ya. Aku cukup ngeri mendengarnya. Algoritma youtube saja menurutku sudah gila akhir-akhir ini.” 

“Ya, gila. Dan yang lebih gila lagi, setiap media social dirancang agar penggunanya betah di aplikasi mereka. Dilema memang. Aplikasi yang katanya media untuk bersosialisasi, malah menjauhkan kita; dan secara tidak langsung, memaksa kita untuk selalu terlihat baik.”

“Terlihat baik?”

“Yap. Biar kuberi contoh gampangnya. 

Kau ingat Mahri? Di akun utamanya, dia selalu memperhatikan feed instagram dan memposting foto dengan komposisi yang bagus. Bukannya itu bertujuan terlihat baik atau bagus? Dengan begitu, akun instagram-nya akan enak dilihat dan menambah like. Untuk Mahri, feed tidak mempengaruhi like sih. Sebagian follower klik 'like' saat melihat postingannya, entah suka atau tidak. 

Ngomong-ngomong, di masaku Mahri sudah tidak mementingkan feed sih, dan kadang kolom komentar dimatikan.

Dengan sistem yang seperti itu, seseorang akan mulai membandingkan dirinya dengan apa yang dia lihat di sana. Tanpa disadari perbandingan itu membuatnya gelisah. Pada titik tertentu seseorang memerlukan pelampiasan, atau sekedar media untuk menenangkan diri. 

Maka dari itu second account muncul. Di sana mereka mengeskpresikan diri mereka yang ‘sebenarnya’, dan terlepas dari ‘tuntutan’ terlihat baik.”

“Oke, aku mulai paham. Jadi karena tuntutan itu, mereka tidak menjadi diri mereka sendiri, dan akhirnya muncul dua sifat di dalam diri mereka. Sifat saat mereka di hadapan publik dan teman dekat mereka. Dan itu yang kau sebut alter ego?”

“Tepat. Jujur sebenarnya ini agak melenceng dari hal ingin kubahas. Tapi ya sudahlah. 

Kembali ke masalah mental illness. Kau tentu ingat..” Fox menghentikan perkataannya dan minimum air mineral beberapa teguk. “Benar-benar ingat, apa yang terjadi saat kita masih di sekolah dasar kan?”

“Iya, kenangan buruk itu. Sebuah kesalahpahaman yang membuatku jadi pribadi penakut, dan celah AZI muncul.”

“Nah, itu.”

“Apa?”

“Di situ letak kesalahan berpikir-mu. AZI itu tidak ada, Lang; AZI itu kau sendiri.”

“Oke. Lalu bagaimana kau menjelaskan tentang power dan fokus-nya yang jauh di atasku? Bukankah itu tidak masuk akal?”

“Masuk akal, Lang. Kau ingat kata Fad, saat pertama kali kau menceritakannya tentang ini?”

“Apa? Aku tidak terlalu mengingatnya; dan agak menghindari pembahasan tentang Fad.”

“Oh iya. Dulu aku masih berpikiran begitu, ya.”

“Huh?” Ashrahi terdiam sejenak, lalu dengan wajah agak kesal dia berkata, “Ya, ya. 'Aku akan tau, tapi tidak sekarang' kan?”

Fox tersenyum, lalu melanjutkan, “Waktu itu Fad bilang ‘kenapa ga gantian? Anggap itu sebagai mood-mu’, dan memang itulah yang terjadi. 

Sesuatu yang kau anggap AZI itu mood kita saat baik, dan cenderung lagi produktif; sedangkan Diki adalah saat mood kita sangat benar-benar buruk. Ibarat baterai, Diki itu udah bukan nol lagi, tapi minus.”

“Lalu soal power dan fokus?”

“Ya.. mood itu berpengaruh, Lang. Saat mood seseorang buruk, produktifitasnya cenderung menurun dan tidak bisa fokus.”

“Iya, kalau itu aku tau. Tapi menurutku perbedaan ini terlalu jauh.”

“Begitukah menurutmu? Coba kuberi analogi yang lain.

Kau tau kenapa orang gila bisa kebal terhadap cuaca dan makanan sampah, kan? Ini semua soal apa yang ada di otak kita, Lang.”

Ashrahi hanya diam. Dia masih meragukan pernyataan Fox.

“Masih kurang yakin? Hm.. Kau ingat Trend Power Balance?”

“Power.. Balance.. kalau aku tidak salah, gelang yang katanya bisa menyeimbangkan tubuh itu ya?” jawab Ashrahi sambil mengingat-ingat benda itu.

“Ya, benar. Sebenarnya benda itu sangat bergantung pada kepercayaan penggunannya. Jika kau percaya akan kekuatan benda itu, efeknya akan muncul di tubuhmu. Jika tidak, maka tidak akan terjadi apa-apa.”

“Tidak terjadi apa-apa? Materi-nya aktif jika penggunanya percaya?”

“Materi? Ah, kau terlalu polos Lang. Benda itu tidak diperngaruhi oleh batu mulia, atau apalah itu di dalamnya. Aku bahkan tidak yakin ada batu mulia di gelang itu. Semua tergantung kau percaya atau tidak.”

“Oke, itu menarik,” Ashrahi masih kurang yakin dengan hal itu.

“Kau tidak yakin? Haha, keras kepala sekali. Baiklah, akan kuberi tau contohnya di kehidupan kita. 

Ingat saat kita tiba-tiba saja bisa bermain Softball dengan baik?”

“Tentu saja aku ingat. Itu terjadi sekitar 3 pertemuan. Dan di saat itulah aku mulai merasakan ada yang berbeda dengan tubuhku. Saat aku berteriak, entah kenapa beban di pikiranku perlahan mulai hilang, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku merasakan hidup.”

“Baik, kau mengingatnya. Dan ada satu hal lagi yang perlu kau ingat. Setiap kita ingin melempar bola, atau melakukan bagian dari latihan, kita selalu berdoa dengan suara yang pelan. Beberapa anggota ekskul lain menyadarinya dan menganggap itu sebagai guyonan. Tapi perlu kau tau Lang, saat itu kita benar-benar berdoa kepada Yang Kuasa, dan percaya akan dikabulkan. Sederhananya semua ini terjadi karena kehendak-Nya, dan karena kau percaya akan Itu.”

“Okelah, aku bisa menerima itu…” Ashrahi mulai bisa menerimanya. Dia memang lebih percaya kalau dikaitkan dengan agama.

“Bagus. Akhirnya kau mengerti. Ngomong-ngomong, secara tidak langsung kau sudah memahami apa yang terjadi dengan kalimat yang kau katakan sendiri tadi.”

“O-kee..” Ashrahi bingung dengan pernyataan Fox. “Tunggu. Kalau menurut penjelasanmu tentang mood tadi, kita sendiri ada di mana? Diki adalah mood buruk kita, dan AZI adalah mood baik kita atau saat bersemangat. Kita?” 

“Begini, Lang, diawal kubilang kalau kita punya trauma yang berkemungkinan jadi mental illness. Karena trauma itu kita menjadi pribadi yang berbeda dan hidup dalam kecemasan. Sederhananya suasana kita tidak pernah sebaik orang lain. Ya mungkin kita bisa tertawa dan menikmati hiburan yang ada tapi di balik itu, di bawah alam bawah sadar kita, kita menangis dan masih mempertanyakan di mana kesalahan kita. Jika kita pakai analogi batrai tadi kita ada di 20-60% dan cenderung ke bawah.” kata Fox. Dia menjatuhkan botol yang sebelumnya ia pegang.


“Wow! Aku.. aku tidak pernah berpikiran ke sana. Sejak kapan kau menyadari hal ini, Fox?”

“Aku menyadarinya saat egoku dipisah dan memiliki tubuh sendiri. Rasanya aneh, aku merasa ekspresi yang ku keluarkan seperti setengah-setengah. Saat aku marah, aku tidak bisa benar-benar mengeluarkannya. Dan saat aku senang, tidak pernah sampai euforia. 

Oh ya satu lagi saat mood kita baik, kita tidak selalu bersemangat dan menggebu-gebu kadang lebih santai tapi cenderung ke sana.”

“Huft…” Ashrahi menghela nafas. Dia melihat sekeliling  tempat itu. Kemudian dia mengangkat tangan serta melihat tangannya. 

“Kurasa kau benar Fox. Aku sudah gila,” kata Ashrahi dengan suara agak lemas.

“Sudahlah, jangan dipikirkan. Itu sudah terjadi, mau diapakan lagi. Lagipula tujuanku membawamu ke sini adalah meluruskan pola pikirmu.” 

“Yah.. oke”

Fox menghampiri Ashrahi lalu menepuk punggungnya, seraya berkata, “Bersemangatlah Lang, kehidupanmu belum berakhir. Masih banyak hari-hari yang dilalui, entah itu baik atau buruk. Yang jelas kau bisa melewatinya. Aku yakin itu…sangat yakin.” 

Ashrahi masih diam.

“Carilah teman, Lang. Mungkin awalnya akan sulit. Tapi nanti mereka akan datang satu persatu dan membuatmu jauh lebih baik. Mulailah mencari kenalan dengan sekedar basa-basi ke orang-orang sekitarmu.”

“Entahlah, Fox. Aku kurang yakin. Aku khawatir mereka hanya koneksi biasa yang lambat laun bakal hilang, dan aku sendiri lagi.”

“Yang kau katakan tidak sepenuhnya salah, orang datang dan pergi. Mereka yang dulunya pernah dekat beberapa tahun kemudian bisa jadi seperti tidak saling kenal. Itu normal, Lang. Semakin kita dewasa, kita akan mulai menyaring orang yang dekat dengan kita. Tidak ada yang salah dengan itu.

Dan Itulah yang terjadi dengan Fadhila, Mahri, Diah, dan juga yang lainnya. Mungkin dulu mereka merasa cocok satu sama lain. Namun setelah mengenal lebih banyak orang, mereka mulai terpisah.”

“Kalau begitu apa gunanya?”

“Kurasa kau pernah mendengar pepatah ini: ‘jangan bersedih karena kenangan berakhir, tapi bersyukurlah karena kenangan itu pernah terjadi’. Seperti itu lah. Aku yakin walaupun ‘mereka’ sudah tidak sedekat dulu, mereka masih mengingat kebersamaan yang dulu pernah terjadi.”

Ashrahi sedikit muram. Dia teringat banyak kenangan masa lalu. Setelah diingat kembali, ternyata kehidupannya tidak seburuk yang dia pikirkan. Masih banyak kenangan baik yang terjadi di dalam hidupnya. 

“Terimakasih, Fox,” kata Ashrahi dengan wajah yang masih agak muram.

“Kembali,” jawab Fox singkat. “Hm.. sini, kemarikan tanganmu.” 

Tanpa banyak tanya, Ashrahi langsung mengulurkan tangannya ke arah Fox. Fox mengeluarkan alat yang tadi dia pakai untuk memindahkan Ashrahi ke tempat ini. Saat diletakkan di telapak tangannya, benda itu menjulur ke pergelangan tangan Ashrahi, tepatnya ke jam tangan pemberian Byzyx. Dua benda itu menyatu dan mulai bercahaya. 

“Setelah ini, kau akan kembali ke masamu dan mengingat semua yang terjadi di sini," Fox menjelaskan.

“Lalu apa yang akan terjadi denganmu?” 

“Kau akan segera mengetahuinya. Oh, ya.. aku hampir lupa. Sebelum kau kembali, kau akan melihat beberapa flashback saat aku ada di Dunia Erscritson. Selain itu, kau akan mendapatkan beberapa ingatanku. Kuharap dengan itu kau akan merasa lebih baik.”

Benda itu terlepas dari tangan Ashrahi dan mulai melayang setinggi Fox. Cahayanya semakin terang. 

Sebelum kembali ke masanya masing-masing, keduanya berjabat tangan dan saling berkata, “semoga beruntung.”

oOo

Karena kejadian ini, semua yang seharusnya terjadi di Dunia Erscritson tidak pernah terjadi. Fox kembali ke masanya dengan sedikit perubahan kecil di sana. Sementara itu, Ashrahi melihat beberapa kejadian di Dunia itu, persis seperti yang dikatakan Fox. 

Tidak lama kemudian, Ashrahi terbangun di kamarnya. Saat melihat tanggal, dia menyadari kalau ini adalah hari di mana dia berniat pergi ke atas mall. Dia bangun dari tempat tidur, menyiapkan ini-itu, dan menuju rute yang lebih baik.


Note: 

Banyak hal yang asing, yang tidak diceritakan seperti: BYZYX, Dunia Erscritson, AZI, Diki, dan banyak lagi. Itu semua diceritakan di series lain, yang mana pada cerita ini realitas itu lenyap karena A, alias Ashrahi, bertemu dengan Fox, dirinya dari masa depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Old Dreams Never Die

Chapter 3

Time of Lunar Eclipse