De Dack dan Mata chapter 1


Garnasi Kota
Salam penduduk Bumi.

Oh, namaku Dacko Dil Elamsittra. Panggil saja De Dack. Aku berasal dari Planet Dranck, planet ketiga di sistem Tata Sanky. Letaknya sekitar….
Tunggu. Kalian berada di Galaksi Bimasakti, ya. Haduh. (menepuk dahi)
Baiklah. Mari kita menuju galaksiku, Galaksi Angryuniqee. Apalagi ini kisah tentangku, kan. Bukan kalian.
oOo
Ngomong-ngomong, Galaksi Angryuniqee terletak sangat, sangat, sangat jauh dari sini. Sekitar… yah. Jika kalian tarik garis lurus dari Bumi ke Galaksi Andromeda, maka galaksiku terletak 10 kali panjang garis tersebut. Bisa diperkirakanlah.
Aku tinggal di sebuah kota terbang. Namanya Garnasi Kota. Kota tersebut berdiri di dalam tempurung seekor hewan yang menyerupai kura-kura di planet kalian. Kami menyebutnya Garnasi. Kota tersebut melayang-layang di luar angkasa seperti sebuah kapal LA tanpa roket pendorong.
Kota ini cukup besar. Membentang hingga 50 km jauhnya. Ada banyak gedung pencakar langit menjulang hingga hampir menyentuh langit-langit. Gedung tertinggi bernama Gedung Nakarshi. Terletak di pusat kota. Gedung ini merupakan pusat jaringan komunikasi kota.
Ada banyak toko swalayan tersebar di segala penjuru kota, dengan lebih dari 5 toko utama.. Ada juga empat taman kota yang terletak di sudut kota. Taman-taman tersebut dikelilingi toko-toko kecil berupa ruko dan pertokoan.
Jalanan di kota ini tidak begitu padat. Semua kendaraan melayang di atas jalanan. Setiap mobil menggunakan roket pendorong, kecuali mobil dan motor polisi yang masih menggunakan roda. Hal ini dilakukan demi kelancaran lalu lintas.
Aku tiba di kota ini 11 tahun yang lalu. Waktu itu usiaku masih 5 tahun. Aku datang bersama kedua orangtuaku. Kami tinggal di sebuah rumah kontrakan selama 10 bulan. Setelah itu, mereka menitipkanku di rumah pamanku, Paman de Keik. Sementara mereka pergi ke luar kota karena beberapa urusan dan tidak pernah kembali.
Sebelas tahun bersama pamanku, kami bekerja di sebuah toko kue di sudut kota. Kami menjual berbagai jenis kue seperti kue kukus, kue buku, donat, dan lain-lain. Karena tidak pandai memasak, aku mendapat tugas mengantarkan pesanan pelanggan dengan mobil box terbang. Aku senang mengantarkan pesanan, karena aku bisa bepergian keliling kota.
Sebenarnya tidak banyak yang bisa aku jelaskan mengenai tugas tersebut. Maksudku kisahnya tidak akan seru untuk diceritakan. Aku hanya harus berangkat pagi-pagi, sekitar jam delapan. Pergi mengantarkan kue. Kembali. Pergi lagi. Kembali. Istirahat makan siang. Pergi lagi. Kembali. Ya, begitu saja hingga pukul 4 sore. Biasanya, sih aku ditemani Pak Gikan sang Sun Nuwa. Namun, sudah seminggu ini dia keluar kota. Jadi aku sendirian.
Ngomong-ngomong, beberapa hari yang lalu aku menemui sebuah kejadian yang aneh… dan seru. Waktu itu langit sangat gelap. Tidak ada cahaya bulan yang setidaknya mampu mengurangi rasa merinding, hanya ada bintang-gemintang yang membentuk berbagai rasi berbeda. Aku baru saja selesai mengantar kue pesanan. Tujuanku itu sangat jauh. Hampir berada di ujung Kota. Itu adalah pemesan terjauh sepanjang aku bekerja di toko kue pamaku. Huuuh. Sungguh memelahkan.
Aku mengemudikan motro (sebutan untuk mobil terbang di sini) dengan malas-malasan. Baru setengah perjalanan menuju rumah aku melihat beberapa orang sedang berlarian di atas atap. Mereka berloncatan lintas atap sambil berteriak. Aku tidak bisa mendengarnya.
Sebenarnya, sih hal itu sudah biasa. Maksudku, garnasi adalah kota di luar angkasa. Ada berbagai jenis makhluk beradab yang tinggal di sini. Maksudku, aku saja berasal dari bangsa Raca. Aku bahkan bisa melompat ke atap gedung berlantai 3. Bayangkan saja seberapa tinggi lompatan para jagoan dari bangsaku.
Tapi ini lain. Mereka ada empat orang. Seseorang yang paling depan berhasil lompat ke bangunan di seberangnya. Sementara temannya mengikuti, namun gagal. Salah seorang yang mengejar mereka mengeluarkan semacam benang dari tangannya dan mengenai punggungnya. Dia terjatuh ke sebuah gang buntu di antara dua gedung. Braaaak! Temannya yang lain langsung melompat turun untuk membantunya, disusul dua orang yang mengejarnya.
Aku memarkir motro-ku di dekat gang tersebut dan berdiri membelakangi dinding salah gedung yang mengapit gang. Aku mendengar salah seorang dari mereka berbicara, kemungkinan salah satu yang mengejar tadi. Dia berbicara dengan nada yang mengancam, “Serahkan barang itu!”
Kedengarannya dia bukan orang yang baik-baik. Aku mencoba melihat ke dalam gang dan kudapati seorang dari bangsa Jedaveb, yang berbicara sebelumnya, dan seorang lagi dari bangsa Nezareci. Sementara dua orang yang dikejar berasal dari bangsa Motlain. Salah seorang Motlain sedang membantu temannya berdiri.
Melihat kedua Motlain dalam posisi terpojok, aku langsung maju dan memasang kuda-kuda. Aku berteriak, “Berhentilah mengganggu mereka dan lawanaku, tangan jaring!!”
Si Jedaveb dan Nezareci menoleh ke belakang, ke arahku. Begitu juga kedua Motlain. Mereka nampak terkejut.
“Pergilah, orang-orang Motlain! Biar kutangani berandal-berandal ini‼” Aku memantapkan kuda-kudaku.
Si Jedaveb berkata ke kawannya. “Kejar mereka! Orang ini biar aku saja.”
Kedua Motlain sudah berdiri dan segera melompat ke atap. Si Nezareci mengangguk dan segera mengejar mereka. Namun belum sempat melangkahkan kakinya di tanah, aku sudah melompat ke arahnya dan menjegalnya. Si kepala angin (sebut saja demikian; bangsa Nezareci adalah pengendali gas) terjatuh ke depan. Sementara kedua Motlai  tersebut telah hilang di kegelapan malam.
Si Jedaveb, atau sebut saja kepala jaring menarikku dari belakang dengan jaringnya. Dia melemparkanku ke dinding. Namun aku tidak apa-apa. Aku berbalik.
Si kepala angin sudah berdiri. Dia mengarahkan tangan kirinya ke arahku. Nampaknya orang itu akan menyemburku dengan salah satu gas beracunnya. Namun, si kepala jaring menahannya. Dia mengarahkan tangannya ke atap dan mengeluarkan jaring. Lalu terlontar ke atap. Sementara kawannya meluruskan kedua tangannya ke bawah dan mendorong tanah dengan gas. Dia terangkat naik.
Aku segera melompat ke arahnya dan membuat si kepala angin terjatuh lagi. Si Jedaveb kembali menembakkan jaringnya ke arahku. Namun aku langsung lompat sehingga jaring itu mengenai udara kosong.
Tiba-tiba terdengar sirine polisi dari kejauhan. Aku yang sudah mendarat segera mendapat pukulan dari si kepala jaring. Aku menangkisnya. Namun, si kepala angin menyemprotkan sebuah gas yang membuatku pusing. Aku memegangi kepalaku. Suara sirine terasa semakin keras, namun berangsur-angsur mengecil dan … aku tak sadarkan diri.

Bersambung…





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Old Dreams Never Die

Chapter 3

Time of Lunar Eclipse