Jin Celengan eps 1
Celengan Ayam
Di sebuah kota yang tidak terlalu
terkenal, berdirilah sebuah sekolah yang tidak terlalu besar. Kala itu, pukul
dua siang. Dua siswa laki-laki tengah berjalan keluar meninggalkan parkiran
dengan berbincang-bincang mengenai kejadian di hari itu. Mereka sibuk berbicara
dengan sesekali tertawa karena ceritanya “lucu”.
Hingga sampailah mereka di depan gerbang.
“Kamu pulang sendiri atau dijemput?”
kata Irfan, seorang teman.
“Sendiri aja, menikmati indahnya kota,”
jawabku, “lagipula sepedaku mau diapain?”
“Dijual di rombengan. Hahaha!”
“Sudahlah, duluan.”
“Ya. Ati-ati.”
“Oke”
Akhirnya aku pulang sendirian dengan sepedahku. Pergi menuju sebuah tempat yang
memang sudah kutunggu-tunggu sejak lama. Sudah satu bulan ini aku menyisihkan
uang demi membeli sebuah novel karya seorang penulis lokal. Ini adalah novel
ketujuh dari serialnya, “Pohon Penghancur Mobil”. Rilis tujuh minggu lalu.
Sejak itulah aku mulai menabung.
QIF
Lima menit bersepeda, akhirnya aku
sampai di tempat itu, Toko Buku Tranogamsa, salah satu toko buku terbesar di kotaku.
Aku memarkir sepeda di tempat parkir dan
mengunci roda-nya. Lalu masuk dan, setelah menitipkan tas di tempat penitipan,
aku naik ke atas, lantai dua. Aku mulai dengan melihat-lihat
rak buku sesuai kebiasaan, bagian komik lokal terlebih dahulu—melihat-lihat
komik terbaru, memastikan harganya. Kemudian pergi ke bagian lain—rak buku
pengetahuan umum, melihat-lihat buku yang kiranya menarik, memastikan harga,
lalu pergi ke rak yang lain.
Kali ini aku berada di depan rak buku
cerita fiksi—dan melakukan kebiasaan lama. Namun, ada satu buku yang paling
menarik perhatianku, sekaligus tujuan utamaku datang ke sini. Ya, itulah “Pohon
Penghancur Mobil”, buku ketujuh dari serial “Mistidata”.
Tulisan itu terpampang di bagian cover dengan font Forte berhologram.
Tepat dibawah tulisan, Angka tujuh, dengan font darah, terletak di pojok
kanan atas dengan lingkaran merah di sekelilingnya.
Buku ini sebenarnya bukan novel horror,
melainkan novel misteri—detektif. Tokoh
utamanya bernama Dio. Diceritakan dia sering ditemani oleh adik dan kakak
sepupunya, Tomi dan Suhat. Mereka selalu mencari masalah dimana pun berada. Namun, disetiap tempat,
selalu ada masalah yang lebih serius dari yang mereka lakukan. Dan mereka—dan
hanya mereka—yang bisa memecahkan masalah, atau sebut saja “kasus” itu. Dan
terkadang mereka dibantu oleh Pak Deni, ayah dari Tomi dan Suhat, yang juga
seorang polisi.
Setelah memastikan uangku
cukup—untuk membelinya—aku kembali ke rak ‘komik lokal’ dan menjumput salah
satu komik berjudul “Teror Angkasa, vol 15”. Kemudian, aku turun dan menuju meja kasir.
“Permisi,” kataku kepada Mbak Kasir.
“Bisa saya bantu, dik”
kata seorang wanita yang kusebut sebagai “Mbak
Kasir” itu.
Aku tidak menjawab dan menyerahkan kedua
buku itu. Mbak Kasir men-scan buku-buku
itu. Beliau memasukkannya ke dalam kantong plastic berwarna putih dan men-staples nota (bukti pembelian) di sana. Aku
menyerahkan uang yang kemudian segera masuk ke dalam mesin kasir dan ‘berganti’
dengan sejumlah uang kembalian. Kemudian kuambil
tas di tempat penitipan dan memasukkan objek pembelianku ke dalamnya.
Sebelum pulang, aku mampir ke sebuah toko
kelontong dan membeli sebuah celengan ayam—sebagai ganti celenganku yang telah hancur—kupecahkan.
Aku membayarnya dan segera pulang.
QIF
Sesampainya di rumah, aku segera menuju
kamar dan meletakkan celengan ayam itu di atas kasur. Aku duduk di-“samping”-nya,
kemudian memasukkan sisa uang sakuku—recehan—ke dalamnya. Tiba-tiba, muncul
suara menyerupai ketel air yang mendidih diikuti dengan keluarnya gas berwarna
merah dengan bau yang aneh dari dalam celengan. Aku merasa heran, namun tetap
memegang celengan itu hingga sesuatu—atau seseorang jika bisa kusebut—muncul di tengah kepulan asap itu.
Seseorang itu tinggi kekar, sekitar 180
meter, berdiri ditengah kepulan asap yang segera kusadari dia tidak memiliki
kaki—melayang di udara. Kulitnya merah. Wajahnya terlihat sangar, dengan rambut
yang di ikat kincir kuda. Terdapat semacam gelang besi berbentuk ular naga
terpasang di pergelangan tangan kananya. Sementara di tangan kiri, tepatnya di
jari tengah dan manis, terpaut dua cicin tembaga dengan ‘mata’ zambrud dan giok.
“Huahaha… akhirnya, setelah sekian lama, aku bisa keluar dari tempat
itu,” katanya dengan suara yang besar.
Dengan tatapannya yang tajam, ia menoleh
ke arahku yang tengah duduk di atas kasur. Tubuhku menggigil karena ketakutan,
dan. Aku meletakkan celenganku di lantai—tetap gemetar melihat keanehan itu.
Berusaha mundur, dan orang tersebut mulai berbicara.
“Terima kasih, tuan. Anda telah
mengeluarkanku dari kurungan satu lubang itu,” katanya
dengan wajah yang gembira, tersenyum, meski tatapannya tetap tajam, “Aku adalah
seorang Nalomos dari Dimensi Sunagaruke. Aku datang ke sini demi memenuhi permintaan, Tuan.”
Tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang seperti
baru terkena kejutan listrik sebesar 10.000 volt. Selang beberapa detik, Ia kembali normal dan
tersenyum. Namun, raut mukanya seketika berubah. Nampaknya dia cemas melihat
tubuhku yang menggigil ketakutan. Wajahnya yang sangar seperti preman itu
berubah menjadi bingung—apa yang terjadi padaku. “Apa yang terjadi kepadamu, nak?” tanya orang itu, atau
sebut saja jin itu, “Mengapa wajahmu seperti ketakutan begitu?”
Sebenarnya tubuhku masih
gemetar melihat orang itu. Namun, aku memberanikan diri berbicara, “Sss...
siapa kamu?”
“Sepertinya kau dalam keadaan
sehat. Suhu tubuhmu normal....” Entah bagaimana nampaknya orang itu malah
memind-
“Tunggu. Kau... kau
memindaiku,” kataku dengan nada bingung, heran.
“Ya. Apalagi yang bisa
kulakukan.”
“Wow. Itu keren, bung. Seperti
robot saja.” Kataku dengan nada riang. Belum pernah kulihat orang seperti itu,
dalam kehidupanku sampai saat ini.
“Ya... itulah kemampuanku,”
kata orang itu sambil menggaruk-garuk belakang kepala, malu—wajahnya merah.
Tunggu, bukannya kulit orang itu sudah merah dari sananya. “Bahkan, aku baru
tahu itu beberapa bulan... atau tahun yang lalu, ya?” dia berpikir, “Ya,
sekitar seratus tahun yang lalu.”
“Seratus tahun?”
“Ya. Kala itu, di malam hari,
aku sedang berada di hutan dekat sebuah desa yang cukup sepi, menurutku. Tapi,
mungkin itu karena sedang malam. Dan, tubuhku tidak kelihatan.”
“Seperti ‘Invisebility’?”
“Ya, invisebility. Memang,
tubuhku selalu tidak terlihat waktu malam hari. Itu sudah menjadi sifat bangsa
Nalomos, dalam bentuk “jiwa”. Jadi, tidak ada yang melihatku, sosok yang buruk
rupa ini.
“Waktu itu aku sedang
berjalan-jalan menyusuri hutan yang sangat lebat. Disana aku melihat banyak
sekali hewan yang melakukan aktivitasnya di malam hari. Hewan-hewan nocturnal,
kau tahulah. Beberapa burung hantu mulai “berkicau”, entah apa yang mereka
bicarakan. Tikus-tikus berlarian di bawahku. Dan, yang lainnya sibuk dengan
tugas masing-masing—mencari makanan.
“Semua oke-oke saja, hingga
kulihat sesuatu tergeletak di tanah. Kudekati, dan ternyata itu bukanlah
sesuatu, melainkan seseorang, seorang pria tepatnya. Dia tergeletak tak berdaya
di sana, di hamparan dedaunan yang menguning karena jatuh tertiup angin di
musim gugur. Tidak hanya kuning, sih. Ada juga yang berwarna merah, dan oranye.
“Awalnya kupikir dia sudah,
ehm... mati. Tapi, jantungnya masih berdetak. Napasnya juga terus berhembus.
Dan, tanpa kusadari, itulah kali pertama aku bisa memindai tubuh seseorang.
Lalu aku sadar dua hal. Yang pertama ya itu tadi. Dan kedua,
meski aku bisa memindai makhluk hidup, aku tetap tidak bisa menolongnya. Ya,
kau tahulah wajahku seperti apa.
“Tapi, orang ini tetap butuh
bantuan. Aku memutar “otak”—berpikir apa yang harus kulakukan. Dan, aku dapat
ide. Sku berteriak “Tolong” berkali-kali. Dan kuperkuat terus hingga akhirnya
ada yang mendengarnya. Dan bukan hanya ada, melainkan beberapa orang yang
dengar.
“Orang-orang itu berlari
memasuki hutan sambil membawa obor. Mereka sampai di dekatku dan mendapati
orang yang terkapar itu. Mereka segera membawanya pergi, dan meninggalkanku
sendirian.
“Aku cukup senang bisa menolong
orang itu. Dan, itu terakhir kalinya aku melakukan hal itu. Hingga hari ini
kamu mengeluarkanku dari wadah itu.” Dia menunjuk celengan yang kuletakkan di
bawah kasur, “Apa namanya?”
Aku mengambil celengan itu, “Celengan.”
“Ya, celengan.” Matanya
berkaca-kaca. Nampaknya dia begitu bahagia—dia tersenyum. Dan, maksudku
semetara aku, setiap ada yang terseyum—padaku—rasanya seperti... seakan-akan
semua masalah di dunia ini lenyap, sirna tak bersisa. Hilang dari dunia ini.
Bahkan, aku telah lupa kejadian yang menimpaku di sekolah tadi. Ya, waktu itu
aku... ah, aku lupa. Tapi, tak masalah. Aku anggap ini adalah hari yang baru. Kehidupan
yang baru. Dan semua yang telah terjadi adalah masa lalu.
“Tunggu. Sebenarnya kau sudah
disini sejak kapan?”
“Aku? Kapan? Oh….” jin
itu menciptakan sebuah kursi tembus pandang di belakangnya dan duduk di
atasnya. “Sebenarnya aku sudah di alam ini sejak... eh, sekarang tahun berapa?”
“2018”
“Berarti, aku sudah di sini
sejak 1500 tahun yang lalu”
“1500 tahun? Hoo…. lama sekali.
Eh, emangnya kamu dari alam mana—kok bilang ‘di alam ini’?”
“Aku sebenarnya berasal dari
Alam Sunagaruke.”
“Sunagakure? Alam apa itu?”
“Itu alam yang ditinggali
bangsa-bangsa yang wujud astralnya bisa keluar dan menampakkan diri, kayak aku
ini. Salah satunya bangsa Nalomos.”
“Lalu, kenapa kamu ada di
sini?”
“Waktu itu aku ditawan di medan
perang, lalu dihukum mati, sementara ‘arwah’-ku di buang ke alam ini.”
“Oh, begitu. Dan selama 1500
tahun itu, kamu pergi kemana aja?”
“Selama itu aku pergi ke…
seluruh dunia. Lihat-lihat, cari ilmu. Dan juga cari teman, siapa tahu ada
bangsa Nalomos lain yang ‘terdampar’ disini.”
“Oh…. Lho, memangnya ada lagi
yang tinggal di alam ini?”
“Ada. Banyak malahan. Sejauh
ini ada….” Belum selesai dia melanjutkan, terdengar suara dari luar kamarku.
“Jaka! Ayo cepat makan!” kata
orang itu, dia ibuku. Dia ada di depan pintu kamarku.
“Sudah tadi di sekolah!”
jawabku dengan suara lantang.
“Kalau begitu cepat mandi, lalu
wudhu sekalian. Mau Ashar ini! Kamu ngaji, kan hari ini?!”
“Iya, ini lagi lepas sepatu!”
“Hah, lepas sepatu?!” Tiba-tiba
nada suara ibu berubah, kaget bercampur marah. Beliau pun segera membuka pintu
dan mendapati aku yang baru saja melepas salah satu sepatuku. Wajahnya merah
padam, alisnya terlipat, dia marah. “Dari tadi baru lepas sepatu. Memangnya
kamu ngapain aja. Hah?! Baju belum dilepas, dasi miring kanan-kiri.”
“Ya, bu.”
“Iya, iya. Sudah, cepat mandi.
Lalu shalat Ashar dan Ngaji. Ini hari pertamamu, kan.” Ibu keluar dari kamarku
dan menuju halaman belakang—mengangkat jemuran.
Aku pun segera melepas sepatu
yang satunya dan ganti pakaian dengan pakaian rumah. Lalu, segera… tunggu,
dimana jin itu? Aku melihat ke kanan-kiri dan mendapati dia tidak ada di
mana-mana.
Tiba-tiba, ia muncul di tempat
sebelumnya. Dan kali ini tanpa asap dan bau itu, serta tanpa tempat duduk. Aku
kaget dan sponton berteriak, “Ah…”
“Tuan tidak apa-apa?” kata jin
itu.
“Tidak apa-apa. Tapi, kalau
sudah marah begitu, perintahnya tidak bisa kutunda-tunda,” kataku. “Oh, iya,
namamu siapa?”
“Nama saya Larceny Thane, dari
Alam Sunagaruke.”
“Kupanggil Thane, ya. Biar
singkat. Sama jangan panggil aku ‘tuan’, panggil saja Jaka.”
“Jaka. Ya.”
Aku pun menuju kamar mandi yang
terletak di seberang kamar. Lalu pergi ke rumah temanku, Randi untuk
mengajaknya shalat Ashar di masjid, sekalian persiapan mengaji.
QIF
Sekitar pukul 5 sore lebih 10, kegiatan mengaji
selesai. Aku, Randi, dan beberapa teman—Ridho, Ghofur, Naura, dan Rara pulang
bersama. Rumah kami satu jalur, meskipun tidak berdekatan. Diantara kami
berlima, aku dan Ridho adalah murid baru. Ini kali pertama kami mengaji di TPQ
Al Hidayah.
Kami bercakap-cakap tentang
kejadian yang terjadi di sekolah tadi. Sesekali bercanda. Kebetulan aku dan
Rara satu sekolah. Sementara Randi adalah teman satu kelas Naura dan Ghofur.
Sementara Ridho… dia baru pindah ke sini dua minggu yang lalu. Namun,
sekolahnya tetap—tidak pindah—di daerah Sawo. Sekitar…kilometer dari sini.
Ghafur adalah yang pertama
pulang. Diantara kami berlima, rumah Ghafur memang yang paling dekat dari
Masjid. Disusul Naura dan Rara, rumah mereka bersebelahan. Kemudian Ridho, dan
Rendi. Dan yang terakhir adalah aku.
QIF
Setibanya di rumah, aku
langsung menuju dapur untuk mengambil air putih. Kemudian duduk di salah satu
kursi di ruang makan dan meminumnya. Sebenarnya aku ke dapur untuk mengecek ibu
ada atau tidak. Biasanya beliau memang di sana.
Bukannya ibu yang kulihat,
melainkan secarik kertas yang tergeletak di atas meja makan. Ada tulisan di
atasnya. Kutaruh gelas yang sudah kosong di atas meja. Lalu kuambil kertas itu
dan tertulis bahwa ibu sedang pergi ke rumah Tante Dewi. Mereka memang teman
sejak kecil dulu. Bahkan, keluargaku pindah ke sini berbarengan dengan keluarga
Tante Dewi.
Kuletakkan gelas di rak piring
dan segera ke kamar. Kutaruh tas di atas kasur dan kuambil sajadah. Lalu aku
bergegas menuju masjid.
QIF
Pulang dari masjid
Aku sekarang berada di kamarku.
Kugantung sajadah di gantungan baju. Lalu kuambil celengan ayam dari atas meja
belajar. Kugosok-gosok bagian sisinya—seperti di kisah Aladin—namun tidak ada
reaksi apa-apa. Lalu kuingat-ingat apa yang kulakukan sebelumnya. Ide pun
melintas di pikiranku, dan kuambil selembar uang seribu dari saku gamisku.
Kemudian kulipat hingga kiranya muat dalam lubang celengan. Kumasukkan uang itu
ke dalam celengan.
Namun, belum sempurna uang itu
masuk, aku dikagetkan dengan suara seseorang dari arah tempat tidur. “Apa yang
sedang anda lakukan, Jaka?” Dan nampaknya itu adalah Larceny Thane, jin
yang sebelumnya keluar dari dalam celengan ayam.
Aku menoleh ke arahnya. Aku
tidak begitu kaget karena sebelumnya—ketika ibu masuk kamarku—Mas Thane sudah
menghilang dan kemudian muncul kembali. “Apa yang anda lakukan di sana? Dan
sejak kapan?”
Larceny yang sebelumnya duduk bersila
di atas kasur, terbang kearahku. Kakinya ”hilang”, seperti jin. Dia berkata,
“Aku sedang duduk di atas kasur itu hingga sekarang aku berdiri di depanmu,”
sambil menunjuk ke arah kasurku
“Oke. Hm… tadi kita sedang
apa?” Aku duduk di kursi belajarku, di samping meja belajarku. Kursi itu
memiliki roda dan bisa diputar 360 derajat. Aku memutarnya dan menghadap ke
arah Mas Thane—atau sebut saja Samthane.
“Anda bertanya kepada saya
tentang….”
“Oh, ya. Memangnya ada berapa
“bangsa”-mu yang ada di alam dunia ini?”
Samthane menjawab dengan nada
serius, “Untuk saat ini ada sepuluh orang, termasuk aku. Tapi kemungkinan masih
ada yang lainnya.”
“Lalu… Eh, tadi kamu bilang
‘akan memenuhi permintaan’-ku, kan?”
“Berarti kamu bisa membuatkan
aku mobil.”
“Kalau permintaanmu seperti
para jin yang ada di cerita Aladin itu, kami tidak bisa.”
“Tidak bisa? Yah, ga seru.”
“Lho, jangan salah. Kisah itu sudah
kuno. Ceritanya saja sudah seribu satu tahun yang lalu, atau lebih. Kami ini,
sebut saja, generasi baru. Jin Masa Kini. Atau, Jin Kekinian.”
“Truss… apa keahlian
kalian—selain memindai seperti robot?”
“Hm… gimana, ya. Begini saja.
Kamu punya masalah, bilang saja. Kami bisa memberikan solusi. Kamu punya
pertanyaan, tanya saja. Mungkin bisa kami jawab.”
“Pertanyaan… masalah..,” aku
melihat ke atas—berpikir.
Aku punya ide. Segera kuambil
tas sekolahku yang kuletakkan di samping rak buku. Kubawa ke atas kasur dan
kubuka tas itu. Kugeledah dan kucek satu per satu buku di dalamnya—kucari buku
tugas mata pelajaran Fisika-ku. Ketemu.
Kuambil dan kubuka halaman
terakhir, maksudnya yang terakhir kugunakan. Terlihat ada beberapa soal yang
kutulis waktu di sekolah tadi. “Ngomong-ngomong pertanyaan, tugas dari guru
sekolah juga berupa pertanyaan, kan.”
Tiba-tiba Samthane menjadi
bersemangat. Terlihat dari raut mukanya yang ceria. Dia tersenyum sangat lebar.
Matanya berkaca-kaca. “Tunggu sebentar disini. Aku akan panggil temanku!”
Samthane segera “masuk” ke dalam celengan ayamku.
Tak lama Samthane keluar dengan
seorang pria yang hampir sama dengannya—bangsanya. Tingginya sedikit lebih
pendek darinya. Warnanya bukan merah, tetapi hijau pucat. Wajahnya pucat,
dengan beberapa keriput di matanya. Kepalanya botak, matanya hijau menyala. Dan
anehnya, dia memakai semacam masker udara di mulutnya.
“Salam tuanku. Perkenalkan,
nama saya Fatahilah Al-Chemist. Siap melayani.” Katanya dengan sedikit menunduk
dan tangan diayun di depanku. Tiba-tiba—seperti Samthane—dia kejang, seperti
disetrum 10.100 volt. Seperti. Aku hanya kira-kira saja.
Aku berdiri dan menjulurkan
tangan ke arahnya, “Salam, Kak Al. Sebut saja namaku Jaka.”
Dia, yang kupanggil Kak Al,
menatapku dan ikut menjulurkan tangan—berusaha salaman, meskipun kenyataannya
tidak bisa.
“Dan… ada beberapa pertanyaan
yang akan aku tanyakan kepada anda.”
“Silahkan saja, tuan. Eh…
maksudku, Jaka.”
Aku kembali duduk di kursi
belajarku. “Pertanyaan pertama; mengapa kakakmemakai masker udara. Aku panggil
‘kakak’ boleh, ya?”
“Silahkan tuan, eh… maksudku
kamu, eh… anda, eh… Jaka memanggil saya ‘kakak’. Boleh saja.
“Dan untuk masker ini.
Sebenarnya dulu, waktu masih memiliki ‘tubuh’, aku alergi pada beberapa jenis
gas, salah satunya…. Jadi, aku selalu memakai masker ini.
“Kalau sekarang sebenarnya
sudah tidak berguna. Kan, aku tidak punya ‘tubuh’. Hanya saja, pakaian atau
peralatan yang paling sering dipakai oleh seorang Nalomos akan muncul pada saat
ia memasuki mode ‘arwah’. Dan masker ini salah satunya.”
“Oh… begitu.” Kuatur posisi dudukku yang kurang
enak. Lalu kubuka kembali buku tugas Fisika-ku. “Baik, pertanyaan kedua. Apa
itu yang dimaksud dengan Unsur dalam fisika?”
“Oh, itu mudah,” kata Kak Al.
“Tapi sebelumnya, kamu tahu apa itu molekul?”
Aku langsung mengacungkan
tangan. “Aku tahu; ‘molekul’ adalah nama lainnya ‘partikel’.”
“Bukan.”
“Oh, bukan ya. Hehehe.”
“Molekul ialah
partikel-partikel kecil yang menyusun setiap benda di muka bumi ini. Ibaratnya,
kamu pernah lihat istana pasir, kan?” kata Kak Al.
Bersamaan dengan itu, Samthane membuat
semacam hologram (gambar bergerak tembus pandang) berbentuk istana pasir di salah satu
tangannya. “Itu hologram, ya?” tanyaku.
“Semacam itu. Tapi, bangsa kami
menyebutnya ‘gambning’.” Jelas
Samthane. Lalu ia menyerahkan “gambning” itu kepada Kak Al.
Kak Al kembali menjelaskan.
“Istana pasir ini, kan, terdiri atas jutaan, bahkan milyaran partikel pasir
pantai. Pasir-pasir ini saling menyatu satu sama lain. Begitu juga molekul;
saling menyatu satu sama lain (berikatan) membentuk setiap benda di muka bumi
ini. Bedanya, kalau pasir hanya membentuk istana pasir, atau benda lain yang
terbuat dari pasir. Sementara molekul membentuk setiap benda yang ada; dan
setiap memiliki molekulnya masing-masing. Kertas disusun oleh molekul kertas,
kayu disusun oleh molekul kayu, besi disusun oleh molekul besi, dll.”
“Oh begitu,” komentarku,
singkat.
“Dan, molekul ukurannya sangat
kecil. Super duper kecil,” kata Kak Al.
“Mikro,” kata Samthane.
“Ya, mikro. Bahkan….” Kak Al menoleh ke Samthane,
memberi isyarat.
Kemudian, Samthane membuat gambning, dan kali ini menyerupai bazooka.
Dia mengarahkannya ke arah pintu kamarku. Seketika, Samthane menembakkan
misilnya ke pintu dan terjadi ledakan besar. Kepulan asap menutupi pandanganku
akan pintu. Dan, sekeping serpihan dari pintu kayu itu di-“tangkap” oleh Kak
Al.
Aku berteriak “Wow”, kaget
sekaligus terkesan. Dan akhirnya kepulan asap menghilang. Namun. Oh, tidak.
Ternyata pintu kamarku tidak hancur. Benda itu masih utuh di tempatnya semula.
Dan serpihan yang ada di tangan Kak Al hanyalah gambning saja.
Kak Al melanjutkan, “Bahkan,
saking kecilnya, untuk melihat molekul dari serpihan kayu ini, harus
menggunakan mikroskop.”
Samthane membuat gambning lagi berbentuk mikroskop
laboratorium.
“Bukan, bukan yang itu. Tapi
yang ini.” Kak Al membuat gambning
di telapak tangan kirinya, berbentuk mikroskop elektron.
(lihat mikroskopelektron)
“Kalau harus
pakai mikroskop, berarti sangat kecil, dong?” aku berkomentar.
“Ya, memang.
Bahkan, untuk membentuk setetes air saja…” Kak Al mengubah serpihan tadi
menjadi setetes air, “…butuh sekitar…molekul air. Satu tetes saja.” Kak Al
menekankan. “Apalagi satu gelas. Apalagi satu ember. Apalagi satu kolam, satu
danau, satu laut, satu dunia—dan setiap mengatakan satu satuan, ia membuat gambning-nya—Hahaha.” Dia tertawa
seperti seorang penjahat yang ingin menuasai seluruh dunia sambil mengangkat
kedua tangannya.
“Hahaha….” Aku
dan Samthane ikut tertawa. Memang cukup aneh, sih. Aku pun bingung, kenapa
ikut-ikut tertawa kala itu.
“Cukup,” kata
Kak Al memotong, “ Jadi, setiap benda di muka bumi ini tidak serta-merta jadi,
melainkan disusun oleh partikel-partikel micro yang kita sebut sebagai
‘molekul’.”
Aku ber-oh,
singkat. “Tapi, kalau semua disusun oleh molekul, bagaimana bisa ada benda
padat, cair, bahkan gas, kan penyusunnya sama? Dan, udara kan juga gas; dan
tersusun oleh molekul, tapi kok tidak kelihatan?”
“Jadi begini,”
Kak Al mulai menjelaskan, “antar molekul—yang menyusun setiap benda—memiliki
semacam ikatan; saling tarik menarik.” Dia juga membuat gambning; bola-bola
kecil yang cukup banyak, dan bergerak mendekati salah satu “bola”. “Ada benda
yang ikatan antar molekulnya kuat, dan ada yang lemah. Benda padat ialah benda
yang ikatan antar molekulnya kuat, setidaknya lebih kuat daripada benda cair.
Sehingga, untuk memutuskannya diperlukan tenaga yang lebih besar, atau bahkan
menggunakan benda tajam. Seperti kertas misalnya, kan memotongnya harus
menggunakan gunting; kayu atau triplek, memotongnya menggunakan gergaji kayu. Atau
yang umum, bahan-bahan makanan; sayuran, buah-buahan, kan memotongnya harus
pakai pisau. Itu karena ikatan antar molekulnya kuat.
“Beda dengan
air—yang benda cair—bisa, kan dibelah dengan tangan.” Kak Al mengubah
gambning-nya menjadi air. Kemudian membesarkannya—seolah-olah menggunakan
mikroskop—hingga menjadi kumpulan bola-bola kecil (molekul) yang renggang dan
bergerak tak tentu arah. “Itu karena ikatan antar molekul benda cair lemah,
atau renggang. Sehingga mudah di-‘patah’-kan.
“Apalagi
udara, yang termasuk benda gas. Ikatan antar molekulnya lebih lemah lagi, bahkan
seolah-olah tidak memiliki ikatan, menyebar.” Dan sekali lagi ia mengubah
gambning-nya; menjadi bola-bola kecil yang menyebar, bergerak secara bebas
kesana kemari; ada yang naik, turun, ke samping, dll.
“Oh, iya.
Molekul, kan sangat kecil. Jadi kalau ga berikatan, ya jadi tak nampak,” aku
menjawab pertanyaanku sendiri.
“Dan molekul
ini pun tidak serta-merta jadi molekul,” kata Kak Al.
“Lho, ada
penyusunya lagi?” kataku.
“Ada. Namanya
‘atom’. Atom ialah partikel berukuran mikro yang menyusun setiap molekul. Ukurannya
sudah pasti lebih kecil dari molekul. Dan setiap benda memiliki susunan atomya
sendiri-sendiri; Maksudnya, molekul kayu susunan atomnya berbeda dengan molekul
kertas, beda pula dengan molekul besi, dengan molekul emas, perak, tembaga,
dll.”
Belum sempat
Kak Al melanjutkan, sudah kupotong dengan sebuah pertanyaan, lagi, “Tunggu.
Lalu, apa itu unsur?”
“Begini. Di
bumi ini ada banyak sekali jenis atom. Atom-atom ini sudah diidentifikasi dan
diurutkan berdasarkan berat relatif (berat rata-rata)-nya. Semuanya tertera di tabel periodik unsur. Dari semuanya,
seratus lebih, 90 diantaranya adalah atom alami; artinya bukan buatan manusia.
Mulai dari yang paling ringan, hidrogen, hingga uranium, unsur alam terberat.
“Unsur ialah benda, atau zat yang setiap
molekulnya tersusun atas satu macam atom saja; misalnya oksigen (O), tersusun
atas dua atom oksigen saja; hidrogen (H) tersusun atas dua atom hidrogen; helium
(He), yang digunakan untuk balon, disusun atas dua atom juga; dll.
“Biasanya
kalau disimbolkan, benda yang termasuk ‘unsur’ ini ditulis dengan satu ‘huruf’
saja; oksigen dengan O2
; hidrogen dengan H2
; besi dengan Fe4
; belerang dengan S4
;
dll. Dan, kebanyakan yang termasuk unsur adalah benda-benda logam, termasuk
emas dan perak.”
“Sementara Senyawa ialah benda atau zat yang
setiap molekulnya tersusun atas dua macam atom atau lebih. Biasanya, senyawa
ini disimbolkan dengan dua huruf dalam kimia, seperti misalnya; air (H2O)
setiap molekulnya disusun atas dua atom hidrogen dan satu atom oksigen; karbon
dioksida (CO2)
disusun oleh satu atom karbon dan dua atom oksigen; dll.
“Ada juga senyawa-senyawa
yang rumit, atau disebut ‘senyawa kompleks’. Setiap molekulnya tersusun atas
banyak sekali atom dan jenisnya beragam—sehingga ukurannya lebih besar daripada
molekul zat-zat yang lain. Senyawa semacam ini biasanya adalah zat-zat organik
yang terkandung dalam makanan; seperti karbohidrat, protein, dan vitamin.
Misalnya saja glukosa (C6H12O6)—glukosa
itu jenis karbohidrat yang paling kecil dan sederhana. Satu molekulnya saja
tersusun atas 6 atom karbon dan oksigen, serta 12 atom hidrogen. Sudah pasti
ukurannya lebih besar dari molekul-molekul benda anorganik pada umumnya.”
“Oh begitu,”
komentarku sambil asik mencatat apa yang dikatakan Kak Al—sekaligus menjawab
soalan dalam PR-ku. “Lalu, apa yang dimaksud campuran?”
“Begini. Secara umum
Campuran dibagi menjadi dua, yakni homogen dan heterogen. Homogen, disebut juga larutan ialah campuran yang antara
zat pelarut dengan zat terlarutnya sama, artinya tidak dapat dibedakan.
Misalnya larutan garam. Pelarutnya kan air, sementara yang dilarutkan ialah
garam. Ketika sudah larut—menjadi larutan—air dan garam tidak dapat dibedakan,
bahkan jika dilihat dengan mikroskop pun tidak bisa. Seakan-akan molekulnya
menyatu menjadi satu.”
Aku terus
mendengarkan sambil terus mencatat apa yang telah dijelaskan oleh Kak Al.
Sementara Samthane, dia sedang bersila di atas kasurku, setinggi 1 meter dari lantai.
“Sementara Campuran Heterogen adalah campuran yang sebenarnya tidak bisa menyatu,
misalnya air dan minyak, air dan pasir, dll. Bisa dibayangkan, lah.”
“Jadi, Campuran
ialah gabungan antara dua benda atau zat yang berbeda jenis, baik itu unsur
atau pun senyawa, titik,” aku menulis sambil berbicara.
“Ya, begitu.” Kak Al
mengelus rambutku—yang sebenarnya menembus kepalaku, karena ia hanya
“arwah”—sambil berkata, “Kamu memang pintar.”
Aku hanya tersenyum.
Samthane pun bangkit
dari “tapa”-nya dan bergabung bersama terbang mendekati Kak Al. “Jadi sudah
selesai belajarnya?”
“Sudah,” jawabku
singkat.
“Kami boleh kembali,
kan?” tanya Samthane sambil tersenyum. Dia hanya bercanda. Tentu saja mereka
boleh kembali ke celegan itu sesukanya, aku tidak melarang.
“Boleh.”
“Tak ada ‘tugas’
lagi?”
“Tidak. Hanya itu
saja.”
“Kalau begitu:
Salam. Sampai jumpa lagi.”
Samthane masuk ke
dalam celengan ayamku, setelah Kak Al. Sementara kubereskan buku dan alat
tulisku. Lalu kusiapkan buku dan peralatan sekolahku untuk besok.
Tak lama kemudian
adzan Isya’ berkumandang. Aku segera mengambil sajadah dan pergi ke masjid.
Tamat
Jin celengan : 180 meter
BalasHapusTinggi rumah rata-rata menurut saya : +-10 meter
Nani?